Mengenal Nadzar Dan Hukumnya Dalam Agama Islam

Nadzar adalah tindakan seorang Muslim yang mengharuskan dirinya untuk taat kepada Allah yang tidak menjadi keharusan (kewajiban) selain dengan nadzar.
Mengenal Nadzar Dalam Agama Islam

Menurut Syaikh Sayyid Sabiq nadzar adalah mewajibkan pada diri sendiri untuk melaksanakan sesuatu yang tidak diwajibkan oleh syara’ dengan mengucapkan kalimat yang menunjukkan hal itu. Nadzar tidak sah kecuali diucapkan oleh orang yang baligh, berakal sehat, dan memiliki kebebasan berkehendak, meskipun dia adalah orang kafir. (Fiqh as-Sunnah jld III)
Tindakan ini, seperti pernyataan; “Saya bernadzar, demi Allah untuk puasa tiga hari pada hari anu, atau shalat sunat dua rakaat di tempat anu.”

HUKUM NADZAR
Hukum nadzar secara mutlak dengan maksud mengharap ridha Allah adalah diperbolehkan. Seperti nadzar untuk shalat, puasa, atau sedekah. Bila suatu nadzar telah diikrarkan, maka ia merupakan sesuatu yang wajib dipenuhi.

Kedudukan nadzar menjadi makruh bila dikaitkan dengan sesuatu, seperti nadzar yang dikaitkan dengan kesembuhan, misalnya; “Saya bernadzar, jika Allah menyembuhkan sakitku, saya akan puasa atau akan shalat atau akan bersedekah …”
“Sesungguhnya ia tidak pernah membawa kebaikan dan sesungguhnya ia hanya dikeluarkan (bersumber) dari orang yang bakhil” (HR. Al-Bukhari dalam kitab Al-Iman (6608,6609), Muslim di dalam kitab An-Nadzar (1639,1640))

Hal itu karena sebagian orang bila rugi atau disakiti barulah dia bernadzar sedekah, menyembelih atau menyumbang uang bila disembuhkan dari penyakit tersebut atau tidak merugi lagi. Dia berkeyakinan bahwa Allah tidak akan menyembuhkan atau membuatnya beruntung kecuali bila dia melakukan nadzar tersebut. Maka, dalam hadits tersebut, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memberitahukan bahwa Allah tidak akan merubah sesuatupun dari apa yang telah Dia takdirkan akan tetapi hal itu adalah perbuatan orang bakhil, yang tidak mau berinfaq kecuali setelah memasang nadzar.

Untuk itu, tidak semestinya seseorang melakukan nadzar, sebab pada dasarnya hukum nadzar itu makruh ataupun diharamkan. Karena, kebaikan yang diperkirakan terjadi dari nadzar itu, bukanlah nadzar itu sebagai penyebabnya.

Banyak orang yang bila sudah sakit, akan bernadzar untuk melakukan ini dan itu bila disembuhkan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan bila sesuatu hilang, dia bernadzar untuk melakukan ini dan itu bila menemukannya kembali. Kemudian, bila dia ternyata disembuhkan atau menemukan kembali barang yang hilang tersebut, bukanlah artinya bahwa nadzar itu yang menyebabkannya akan tetapi hal itu semata berasal dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan Allah adalah Maha Mulia dari sekedar kebutuhan akan suatu persyaratan ketika Dia dimintai.

Oleh karena itu, seseorang wajib bermohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar disembuhkan dari sakit atau agar barang yang hilang ditemukan kembali. Sedangkan nadzar itu sendiri, ia tidaklah memiliki aspek apapun dalam hal ini. Banyak sekali orang-orang yang bernadzar tersebut, bila sudah mendapatkan apa yang dinadzarkan, kemudian bermalas-malasan untuk menepatinya bahkan barangkali tidak jadi melakukannya. Ini tentunya bahaya yang amat besar. Sebaiknya, perhatikan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala berikut (yang artinya):

“Dan di antara mereka ada orang yang berikrar kepada Allah : ‘Sesungguhnya jika Allah memberikan sebahagian dari karunia-Nya kepada kami, pasti kami akan bersedekah dan pastilah kami termasuk orang-orang yang shalih’. Maka setelah Allah memberikan kepada mereka sebahagian dari karunia-Nya, mereka kikir dengan karunia itu, dan berpaling, dan mereka memanglah orang-orang yang selalu membelakangi (kebenaran). Maka Allah menimbulkan kemunafikan pada hati mereka sampai pada waktu mereka menemui Allah, karena mereka telah memungkiri terhadap Allah apa yang telah mereka ikrarkan kepadaNya dan (juga) karena mereka selalu berdusta” (QS. At-Taubah {9} : 75-77).
Maka berdasarkan hal ini, tidak semestinya seorang mukmin melakukan nadzar.

MACAM-MACAM NADZAR

1. Nadzar mutlak, yaitu nadzar dalam bentuk kalimat berita, seperti pernyataan yang disampaikan seorang Muslim dengan maksud sebagai media untuk mendekatkan diri kepada Allah; “Demi Allah saya bernadzar akan berpuasa tiga hari atau memberi makan orang miskin.” Nadzar yang seperti ini wajib untuk dipenuhi. Firman Allah (yang artinya):
“Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpah(mu) itu, sesudah meneguhkannya, sedang kamu Telah menjadikan Allah sebagai saksimu (terhadap sumpah-sumpahmu itu). Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.” (QS. An-Nahl {16} ; 91)

“Kemudian, hendaklah mereka menghilangkan kotoran (memotong rambut, mengerat kuku, dan sebagainya) yang ada pada badan mereka dan hendaklah mereka menyempurnakan nazar-nazar mereka (yakni nazar-nazar yang baik yang akan dilakukan selama ibadah haji) dan hendaklah mereka melakukan melakukan thawaf sekeliling rumah yang tua itu (Baitullah).” (QS. Al-Hajj {22} : 29)

2. Nadzar mutlak yang tidak ditentukan, seperti pernyataan; “Saya bernadzar dengan sesuatu yang menjadi hak Allah dan menjadi kewajiban atas diriku”, yakni dalam nadzar tersebut tidak ditentukan objek yang menjadi nadzarnya.

Konsekuensi hukum dari nadzar ini wajib dipenuhi dengan kafarat sumpah.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Kafarat nadzar yang tidak ditentukan objek yang mejadi nadzarnya, sama dengan kafarat sumpah.” (HR. Muslim)
Menurut suatu pendapat, kafarat nadzar ini dianggap cukup dengan kadar nadzar minimal seperti dengan shalat dua rakaat atau puasa tiga hari.

3. Nadzar yang dikaitkan dengan perbuatan Allah, yaitu nadzar bersyarat, seperti; “Saya bernadzar, jika Allah mengembalikan barangku yang hilang saya akan memberi makan sepuluh orang miskin”.
Nadzar yang seperti ini walaupun dianggap makruh tetap wajib dipenuhi. Dengan demikian, ketika Allah memenuhi apa yang dikaitkan dengan nadzar itu, maka orang tersebut wajib menepati nadzarnya tersebut.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Barangsiapa yang bernadzar untuk taat kepada Allah, maka dia harus menepatinya.” (HR. Bukhari Ahmad, Tirmizi, Ibnu Majah, Abu Dawud dan Nasa’i)
Namun jika Allah tidak tidak memenuhi, maka ia tidak wajib memenuhi nadzarnya.

4. Nadzar yang dikaitkan dengan perbuatan makhluk, yaitu nadzar orang yang keras hati (emosional), seperti; “Saya bernadzar, bahwa saya akan puasa satu bulan atau mengeluarkan hartaku sekian-sekian jika aku melakukan perbuatan anu.”
Jika apa yang dinadzarkan terjadi, orang tersebut boleh memilih antara menepati nadzar tersebut atau dengan kafarat sumpah.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Tidak ada nadzar dalam keadaan marah, sedangkan tebusannya adalah kafarat sumpah.” (HR. Sa’id, saperti tercantum dalam kitab Sunan-nya)

5. Nadzar maksiat, yaitu nadzar untuk mengerjakan sesautu yang diharamkan atau meninggalkan yang diwajibkan, seperti; “Saya bernadzar, bahwa saya akan menganiaya si anu atau akan minum khamar.”
Nadzar seperti haram untuk dipenuhi. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Barangsiapa yang bernadzar untuk taat kepada Allah, maka dia harus menepatinya. Barangsiapa yang bernadzar untuk berbuat maksiat (durhaka) kepada Allah, janganlah ia tepati.” (HR. Bukhari Ahmad, Tirmizi, Ibnu Majah, Abu Dawud dan Nasa’i)
Sebagian ulama berpendapat, pelakunya harus membayar dengan kafarat sumpah.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

Tidak ada nadzar dalam maksiat dan kafaratnya dengan kafarat sumpah.” (HR. Abu Dawud)

6. Nadzar mengharamkan sesuatu yang dihalalkan. Seperti mengharamkan makanan atau minuman yang halal.
Hukum nadzar yang seperti ini tidak boleh kecuali kepada istri, sehingga jika seseorang bernadzar mengharamkan dirinya melakukan hubungan badan (jima’) dengan istrinya, ia wajib menebus nadzar tersebut dengan kafarat zhihar. Sedangkan jika nadzar ini dilakuakn terhadap selain istrinya, cara menebusnya dengan kafarat sumpah.

MELANGGAR NAZDAR
Bila seseorang bernadzar sesuatu pada arah tertentu dan melihat bahwa yang selainnya lebih baik dan lebih diperkenankan Allah serta lebih berguna bagi para hamba-Nya, maka tidak apa-apa dia merubah arah nadzar tersebut ke arah yang lebih baik.
Dalilnya adalah hadits tentang seorang laki-laki yang datang ke hadapan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya berkata,

“Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku telah bernadzar akan melakukan shalat di Baitul Maqdis bila kelak Allah menganugrahkan kemenangan kepadamu di dalam menaklukan Mekkah”. Maka beliau menjawab : “Shalatlah di sini saja”, kemudian orang tadi mengulangi lagi perkataannya, lalu dijawab oleh beliau, “Kalau begitu, itu menjadi urusanmu sendiri” (Hadits Riwayat Abu Daud di dalam kitab Al-Iman (3305))

Hadits ini menunjukkan bahwa bila seseorang berpindah dari nadzarnya yang kurang utama kepada yang lebih utama, maka hal itu boleh hukumnya. (Fatawa Al-Mar’ah, dari Fatawa Syaikh Ibn Utsaimin, hal. 68)

MENEPATI NADZAR
Bila nadzar tersebut berupa ibadah seperti shalat, puasa, sedekah atau i'tikaf, maka harus ditepati. Tetapi bila ia nadzar maksiat seperti membunuh, berzina, minum khamr atau merampas harta orang lain secara zhalim dan semisalnya maka tidak boleh menepatinya tetapi dia harus membayar kafarat sumpah, yaitu memberi makan sebanyak sepuluh orang miskin dan seterusnya.

Bila nadzar tersebut sesuatu yang mubah (dibolehkan) seperti makan, minum, pakaian, bepergian, ucapan biasa dan semisalnya maka dia diberikan pilihan antara menepatinya atau membayar kafarat sumpah. Bila berupa nadzar melakukan ketaatan kepada Allah, maka dia harus mengalokasikannya kepada kaum miskin dan kaum lemah seperti makanan, meyembelih kambing atau semisalnya. Dan jika ia berupa amal shalih yang bersifat fisik atau materil seperti jihad, haji dan umrah, maka dia harus menepatinya. Bila dia mengkhususkannya untuk suatu pihak maka dia harus menyerahkannya kepada pihak yang telah dikhususkan tersebut seperti masjid, buku-buku atau proyek-proyek kebajikan dan tidak boleh mengalokasikannya kepada selain yang telah ditentukannya tersebut. (Fatawa Al-Mar'ah, dari Fatawa Syaikh Ibn Jibrin, hal. 67)

Penulis : Abi Hamdi ( Pimpinan Ponpes Muallimin, Pakan Sinayan, Agam-Sumbar )

Post a Comment

Previous Post Next Post

Contact Form